Sejarah Suku Batak,Budaya,Tradisi,Dan Sistem Sosial

DETIKBATAK.COM (26/12/19)Batak merupakan salah satu suku bangsa yang ada di Indonesia Yang terbagi ke beberapa Sub Suku. Suku Batak Hampir merata Tersebar di seluruh Wilayah Republik indonesia.

Menurut legenda yang dipercayai sebahagian masyarakat Batak, bahwa Suku Batak berasal dari Pusuk Buhit daerah Sianjur Mula Mula sebelah barat Pangururan di pinggiran Danau Toba.
DETIKBATAK.COM (26/12/19)Batak merupakan salah satu suku bangsa yang ada di Indonesia Yang terbagi ke beberapa Sub Suku. Suku Batak Hampir merata Tersebar di seluruh Wilayah Republik indonesia.    Menurut legenda yang dipercayai sebahagian masyarakat Batak, bahwa Suku Batak berasal dari Pusuk Buhit daerah Sianjur Mula Mula sebelah barat Pangururan di pinggiran Danau Toba.    Suku Batak    Kalau versi ahli sejarah Batak mengatakan bahwa siRaja Batak dan rombongannya berasal dari Thailand yang menyeberang ke Sumatera melalui Semenanjung Malaysia dan akhirnya sampai ke Sianjur Mula mula dan menetap disana.    Sedangkan dari prasasti yang ditemukan di Portibi yang bertahun 1208 dan dibaca oleh Prof. Nilakantisari seorang Guru Besar ahli Kepurbakalaan yang berasal dari Madras, India menjelaskan bahwa pada tahun 1024 kerajaan Cola dari India menyerang Sriwijaya dan menguasai daerah Barus.     Pasukan dari kerajaan Cola kemungkinan adalah orang-orang Tamil karena ditemukan sekitar 1500 orang Tamil yang bermukim di Barus pada masa itu. Tamil adalah nama salah satu suku yang terdapat di India.  siRaja Batak diperkirakan hidup pada tahun 1200 (awal abad ke13)  Raja Sisingamangaraja ke-XII diperkirakan keturunan siRaja Batak generasi ke19 yang wafat pada tahun 1907 dan anaknya si Raja Buntal adalah generasi ke 20.    Dari temuan diatas bisa diambil kesimpulan bahwa kemungkinan besar leluhur dari siRaja batak adalah seorang pejabat atau pejuang kerajaan Sriwijaya yang berkedudukan di Barus karena pada abad ke-12 yang menguasai seluruh nusantara adalah kerajaan Sriwijaya di Palembang.    Akibat dari penyerangan kerajaan Cole ini maka diperkirakan leluhur siRaja Batak dan rombongannya terdesak hingga ke daerah Portibi sebelah selatan Danau Toba dan dari sinilah kemungkinan yang dinamakan siRaja Batak mulai memegang tampuk pemimpin perang, atau boleh jadi siRaja Batak memperluas daerah kekuasaan perangnya sampai mancakup daerah sekitar Danau Toba, Simalungun, Tanah Karo, Dairi sampai sebahagian Aceh dan memindahkan pusat kekuasaanya di daerah Portibi di sebelah selatan Danau Toba.    Pada akhir abad ke-12 sekitar tahun 1275 kerajaan Majapahit menyerang kerajaan Sriwijaya sampai ke daerah Pane, Haru, Padang Lawas dan sekitarnya yang diperkirakan termasuk daerah kekuasaan siRaja Batak.  Serangan dari kerajaan Majapahit inilah diperkirakan yang mengakibatkan siRaja Batak dan rombonganya terdesak hingga masuk ke pedalaman di sebelah barat Pangururan di tepian Danau Toba, daerah tersebut bernama Sianjur Mula Mula di kaki bukit yang bernama Pusuk Buhit, kemudian menghuni daerah tersebut bersama rombongannya.    Terdesaknya siRaja Batak oleh pasukan dari kerajaan Majapahit kemungkinan erat hubungannya dengan runtuhnya kerajaan Sriwijaya di Palembang karena seperti pada perkiraan di atas siRaja Batak adalah kemungkinan seorang Penguasa perang di bawah kendali kerajaan Sriwijaya.    Sebutan Raja kepada siRaja Batak bukanlah karena beliau seorang Raja akan tetapi merupakan sebutan dari pengikutnya atau pun keturunannya sebagai penghormatan karena memang tidak ada ditemukan bukti-bukti yang menunjukkan adanya sebuah kerajaan yang dinamakan kerajaan Batak.    Suku Batak sangat menghormati leluhurnya sehingga hampir semua leluhur marga-marga batak diberi gelar Raja sebagai gelar penghormatan, juga makam-makam para leluhur orang Batak dibangun sedemikian rupa oleh keturunannya dan dibuatkan tugu yang bisa menghabiskan biaya milyaran rupiah. Tugu ini dimaksudkan selain penghormatan terhadap leluhur juga untuk mengingatkan generasi muda akan silsilah (Partuturan)mereka.    Di dalam sistim kemasyarakatan suku Batak terdapat apa yang disebut dengan Marga yang dipakai secara turun temurun dengan mengikuti garis keturunan laki-laki. Ada sekitar 227 nama Marga pada suku Batak.  Di dalam buku Tarombo Borbor Marsada dikatakan bahwa   Daftar Isi :  SiRaja Batak memiliki 3 (tiga) orang anak yaitu: Identitas Batak Misionaris Kristen Salam Khas Batak Kekerabatan  Kontroversi  Hagabeon  Hamoraon  Uhum Dan Ugari Pengayoman Sistem Sosial     SiRaja Batak memiliki 3 (tiga) orang anak yaitu: GURU TATEA BULAN (siRaja Lontung) RAJA ISOMBAON (siRaja Sumba) TOGA LAUT. Ketiga anak siRaja Batak inilah yang diyakini meneruskan tampuk pimpinan siRaja Batak dan asal mula terbentuknya marga-marga pada suku Batak. Sub Suku Batak Ada beberapa sub suku dan ratusan marga yang terdapat pada suku Batak.    Suku batak sendiri memiliki sub suku antara lain: 1. Karo 2. Mandailing 3. Simalungun 4. Toba 5. Pakpak 6. Angkola dan 7. Batak Pesisir Walaupun masih menjadi kontroversi dari sebahagian orang dari suku-suku Sub Suku Batak diatas tidak mau disebut Suku Batak tapi sebahagian lagi dari Sub Suku itu ada yang setuju disebut suku Batak dan juga pemerintah pada sensus penduduk tahun 2000 mengklasifikasikan sub suku diatas masuk dalan satu suku yaitu suku Batak.    Lebih lanjut mengenai Sub Suku Batak di atas, nanti akan kita bahas. Suku bangsa yang dikategorikan sebagai Batak adalah Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola dan Batak Mandailing. Mayoritas orang batak menganut agama Kristen dan sisanya beragama Islam.     Tetapi ada juga yang menganut agama Malim dan juga menganut kepercayaan Animisme (disebut juga sipelebegu atau parbegu), penganut kedua kepercayaan ini saat ini sudah semakin berkurang. Berikut ini mari kita simak Lebih lengkap Sejarah Asal Usul Suku Batak Orang Batak adalah penutur bahasa Austronesia  namun tidak diketahui kapan nenek moyang orang Batak pertama kali bermukim di Tapanuli dan Sumatera Timur.    Bahasa dan bukti-bukti arkeologi menunjukkan bahwa orang yang berbahasa Austronesia dari Taiwan telah berpindah ke wilayah Filipina dan Indonesia sekitar 2.500 tahun lalu, yaitu di zaman batu muda (Neolitikum). Karena hingga sekarang belum ada artefak Neolitikum (Zaman Batu Muda) yang ditemukan di wilayah Batak maka dapat diduga bahwa nenek moyang Batak baru bermigrasi ke Sumatera Utara di zaman logam. Pada abad ke-6, pedagang-pedagang Tamil asal India mendirikan kota dagang Barus, di pesisir barat Sumatera Utara. Mereka berdagang kapur Barus yang diusahakan oleh petani-petani di pedalaman.    Kapur Barus dari tanah Batak bermutu tinggi sehingga menjadi salah satu komoditas ekspor di samping kemenyan. Pada abad ke-10, Barus diserang oleh Sriwijaya. Hal ini menyebabkan terusirnya pedagang-pedagang Tamil dari pesisir Sumatera. Pada masa-masa berikutnya, perdagangan kapur Barus mulai banyak dikuasai oleh pedagang Minangkabau yang mendirikan koloni di pesisir barat dan timur Sumatera Utara. Koloni-koloni mereka terbentang dari Barus, Sorkam, hingga Natal.    Identitas Batak R.W Liddle mengatakan, bahwa sebelum abad ke-20 di Sumatera bagian utara tidak terdapat kelompok etnis sebagai satuan sosial yang koheren. Menurutnya sampai abad ke-19, interaksi sosial di daerah itu hanya terbatas pada hubungan antar individu, antar kelompok kekerabatan, atau antar kampung. Dan hampir tidak ada kesadaran untuk menjadi bagian dari satuan-satuan sosial dan politik yang lebih besar. Pendapat lain mengemukakan, bahwa munculnya kesadaran mengenai sebuah keluarga besar Batak baru terjadi pada zaman kolonial.     Dalam disertasinya J. Pardede mengemukakan bahwa istilah "Tanah Batak" dan "rakyat Batak" diciptakan oleh pihak asing. Sebaliknya, Siti Omas Manurung, seorang istri dari putra pendeta Batak Toba menyatakan, bahwa sebelum kedatangan Belanda, semua orang baik karo maupun Simalungun mengakui dirinya sebagai Batak, dan Belandalah yang telah membuat terpisahnya kelompok-kelompok tersebut. Sebuah mitos yang memiliki berbagai macam versi menyatakan, bahwa Pusuk Buhit, salah satu puncak di barat Danau Toba, adalah tempat "kelahiran" bangsa Batak. Selain itu mitos-mitos tersebut juga menyatakan bahwa nenek moyang orang Batak berasal dari Samosir.     Terbentuknya masyarakat Batak yang tersusun dari berbagai macam marga, sebagian disebabkan karena adanya migrasi keluarga-keluarga dari wilayah lain di Sumatra. Penelitian penting tentang tradisi Karo dilakukan oleh J.H Neumann, berdasarkan sastra lisan dan transkripsi dua naskah setempat, yaitu Pustaka Kembaren dan Pustaka Ginting. Menurut Pustaka Kembaren, daerah asal marga Kembaren dari Pagaruyung di Minangkabau.     Orang Tamil diperkirakan juga menjadi unsur pembentuk masyarakat Karo. Hal ini terlihat dari banyaknya nama marga Karo yang diturunkan dari Bahasa Tamil. Orang-orang Tamil yang menjadi pedagang di pantai barat, lari ke pedalaman Sumatera akibat serangan pasukan Minangkabau yang datang pada abad ke-14 untuk menguasai Barus.    Misionaris Kristen Pada tahun 1824, dua misionaris Baptist asal Inggris, Richard Burton dan Nathaniel Ward berjalan kaki dari Sibolga menuju pedalaman Batak. Setelah tiga hari berjalan, mereka sampai di dataran tinggi Silindung dan menetap selama dua minggu di pedalaman. Dari penjelajahan ini, mereka melakukan observasi dan pengamatan langsung atas kehidupan masyarakat Batak. Pada tahun 1834, kegiatan ini diikuti oleh Henry Lyman dan Samuel Munson dari Dewan Komisaris Amerika untuk Misi Luar Negeri. Pada tahun 1850, Dewan Injil Belanda menugaskan Herman Neubronner Van der Tuuk untuk menerbitkan buku tata bahasa dan kamus bahasa Batak - Belanda. Hal ini bertujuan untuk memudahkan misi-misi kelompok Kristen - Belanda dan Jerman berbicara dengan masyarakat Toba dan Simalungun yang menjadi sasaran pengkristenan mereka.     Misionaris pertama asal Jerman tiba di lembah sekitar Danau Toba pada tahun 1861, dan sebuah misi pengkristenan dijalankan pada tahun 1881 oleh Dr. Ludwig Ingwer Nommensen. Kitab Perjanjian Baru untuk pertama kalinya diterjemahkan ke bahasa Batak Toba oleh Nommensen pada tahun 1869 dan penerjemahan Kitab Perjanjian Lama diselesaikan oleh P. H. Johannsen pada tahun 1891. Teks terjemahan tersebut dicetak dalam huruf latin di Medan pada tahun 1893. Menurut H. O. Voorma, terjemahan ini tidak mudah dibaca, agak kaku, dan terdengar aneh dalam bahasa Batak.     Masyarakat Toba dan Karo menyerap agama Kristen dengan cepat, dan pada awal abad ke-20 telah menjadikan Kristen sebagai identitas budaya. Pada masa ini merupakan periode kebangkitan kolonialisme Hindia Belanda, dimana banyak orang Batak sudah tidak melakukan perlawanan lagi dengan pemerintahan kolonial. Perlawanan secara gerilya yang dilakukan oleh orang-orang Batak Toba berakhir pada tahun 1907, setelah pemimpin kharismatik mereka, Sisingamangaraja XII wafat.     Gereja HKBP Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) telah berdiri di Balige pada bulan September 1917. Pada akhir tahun 1920-an, sebuah sekolah perawat memberikan pelatihan perawatan kepada bidan-bidan disana. Kemudian pada tahun 1941, Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) didirikan.    Salam Khas Batak Tiap puak Batak memiliki salam khasnya masing masing. Meskipun suku Batak terkenal dengan salam Horasnya, namun masih ada dua salam lagi yang kurang populer di masyarakat yakni Mejuah juah dan Njuah juah. Horas sendiri masih memiliki penyebutan masing masing berdasarkan puak yang menggunakannya 1. Pakpak “Njuah-juah Mo Banta Karina!” 2. Karo “Mejuah-juah Kita Krina!” 3. Toba “Horas Jala Gabe Ma Di Hita Saluhutna!” 4. Simalungun “Horas banta Haganupan, Salam Habonaran Do Bona!” 5. Mandailing dan Angkola “Horas Tondi Madingin Pir Ma Tondi Matogu, Sayur Matua Bulung!”    Kekerabatan Kekerabatan adalah menyangkut hubungan hukum antar orang dalam pergaulan hidup. Ada dua bentuk kekerabatan bagi suku Batak, yakni berdasarkan garis keturunan (genealogi) dan berdasarkan sosiologis, sementara kekerabatan teritorial tidak ada. Bentuk kekerabatan berdasarkan garis keturunan (genealogi) terlihat dari silsilah marga mulai dari Si Raja Batak, dimana semua suku bangsa Batak memiliki marga. Sedangkan kekerabatan berdasarkan sosiologis terjadi melalui perjanjian (padan antar marga tertentu) maupun karena perkawinan. Dalam tradisi Batak, yang menjadi kesatuan Adat adalah ikatan sedarah dalam marga, kemudian Marga. Artinya misalnya Harahap, kesatuan adatnya adalah Marga Harahap vs Marga lainnya. Berhubung bahwa Adat Batak/Tradisi Batak sifatnya dinamis yang seringkali disesuaikan dengan waktu dan tempat berpengaruh terhadap perbedaan corak tradisi antar daerah.    Kontroversi Sebagian orang Karo, Angkola, dan Mandailing tidak menyebut dirinya sebagai bagian dari suku Batak. Wacana itu muncul disebabkan karena pada umumnya kategori "Batak" dipandang rendah oleh bangsa-bangsa lain. Selain itu, perbedaan agama juga menyebabkan sebagian orang Tapanuli tidak ingin disebut sebagai Batak. Di pesisir timur laut Sumatera, khususnya di Kota Medan, perpecahan ini sangat terasa. Terutama dalam hal pemilihan pemimpin politik dan perebutan sumber-sumber ekonomi. Sumber lainnya menyatakan kata Batak ini berasal dari rencana Gubernur Jenderal Raffles yang membuat etnik Kristen yang berada antara Kesultanan Aceh dan Kerajaan Islam Minangkabau, di wilayah Barus Pedalaman, yang dinamakan Batak. Generalisasi kata Batak terhadap etnik Mandailing (Angkola) dan Karo, umumnya tak dapat diterima oleh keturunan asli wilayah itu.     Demikian juga di Angkola, yang terdapat banyak pengungsi muslim yang berasal dari wilayah sekitar Danau Toba dan Samosir, akibat pelaksanaan dari pembuatan afdeeling Bataklanden oleh pemerintah Hindia Belanda, yang melarang penduduk muslim bermukim di wilayah tersebut. Konflik terbesar adalah pertentangan antara masyarakat bagian utara Tapanuli dengan selatan Tapanuli, mengenai identitas Batak dan Mandailing.     Bagian utara menuntut identitas Batak untuk sebagain besar penduduk Tapanuli, bahkan juga wilayah-wilayah di luarnya. Sedangkan bagian selatan menolak identitas Batak, dengan bertumpu pada unsur-unsur budaya dan sumber-sumber dari Barat. Penolakan masyarakat Mandailing yang tidak ingin disebut sebagai bagian dari etnis Batak, sempat mencuat ke permukaan dalam Kasus Syarikat Tapanuli (1919-1922), Kasus Pekuburan Sungai Mati (1922), dan Kasus Pembentukan Propinsi Tapanuli (2008-2009). Dalam sensus penduduk tahun 1930 dan 2000, pemerintah mengklasifikasikan Simalungun, Karo, Toba, Mandailing, Pakpak dan Angkola sebagai etnis Batak    Hagabeon Hagabeon dalam Suku Batak bermakna harapan memiliki anak dan cucu yang baik-baik dan panjang umur. Dengan umur yang panjang diharapkan dapat menikahkan anak dan mendapatkan keturunan yang baik. Bagi suku ini anak merupakan simbol keberhasilan dalam pernikahan. Apalagi anak laki-laki, yang merupakan penerus marganya. Pada adat kuno aturan memiliki anak bagi orang batak yaitu sebanyak 33. Dimana laki-laki sebanyak 17 anak dan perempuan 16 anak. Namun seiring kemajuan jaman nilai adat tersebut mulai tergeser dan tergantikan dengan nilai baru. Saat ini prioritas memiliki anak bukan lagi terpaut pada kuantitas melainkan pada kualitas. Sehingga pendidikan dan keterampilan merupakan hal utama yang harus dimiliki seorang anak.    Hamoraon Dalam adat Suku Batak nilai budaya hamoraon memiliki makna kehormatan. Aspek kehormatan yang dimaksud yaitu keseimbangan antara nilai materil dan spiritual. Seseorang dianggap terhormat apabila memiliki kekayaan, sikap baik hati antar sesama dan nilai spiritual yang tinggi. Meskipun seseorang memiliki kekayaan yang melimpah dan jabatan yang tinggi, tidak ada artinya jika tidak memiliki nilai spiritual. Inilah keseimbangan yang dimaksud. Bahwa proporsi antara nilai materil dan spiritual haruslah seimbang.    Uhum Dan Ugari Nilai ini memiliki makna yang sama dengan hukum. Bagi orang Batak hukum atau uhum merupakan suatu hal yang mutlak ditegakkan. Implementasi nilai-nilai ini diwujudkan melalui sikap keadilan. Nilai keadilan itu sendiri diwujudkan dari komitmen melakukan kebiasaan (ugari) dan kesetiaan pada janji. Seorang Suku Batak apabila berkhianat pada suatu kesepakatan adat akan menerima sanksi adat dan dianggap sangat tercela. Oleh karenanya bagi mereka uhum dan ugari merupakan suatu hal yang amat dipatuhi. Dan orang Batak dianggap sempurna jika mampu menghormati uhum dan ugari serta dapat menepati janji.    Pengayoman Nilai pengayoman dalam Suku Batak terbilang cukup unik. Mengapa? Karena dengan nilai ini mereka menjadi terbiasa hidup mandiri dan tidak mudah meminta belas kasihan orang lain. Sebab salah satu prinsip adat mereka yaitu semua orang merupakan pengayom dan akan saling mengayomi antar sesama. Prinsip tersebut berasal dari unsur yang dikenal dengan Dalihan Na Tolu. Unsur tersebut sejatinya merupakan unsur yang secara magis dipercaya saling melindungi. Hubungan tersebut layaknya jaring laba-laba yang saling berkaitan dengan nilai-nilai adat.    Sistem Sosial Dalam sistem sosial selalu dibutuhkan nilai yang mengatur untuk menjaga keseimbangan hubungan antar manusia. Nilai ini memang sangat dibutuhkan. Sebab selalu ada perbedaan dalam sekelompok manusia. Sehingga nilai-nilai dan aturan ini yang menjadi acuan dalam keberlangsungan kehidupan manusia. Begitu pula dengan nilai marsisarian yang ada pada Suku Batak. Marsisarian memiliki makna saling menghargai, mengerti dan saling membantu. Dengan adanya nilai ini seseorang harus menghormati dan menghargai antar sesama. Lebih baiknya lagi nilai ini dapat mencegah konflik yang terjadi dalam masyarakat.    Dikutip dari Berbagai Sumber
Suku Batak

Kalau versi ahli sejarah Batak mengatakan bahwa siRaja Batak dan rombongannya berasal dari Thailand yang menyeberang ke Sumatera melalui Semenanjung Malaysia dan akhirnya sampai ke Sianjur Mula mula dan menetap disana.

Sedangkan dari prasasti yang ditemukan di Portibi yang bertahun 1208 dan dibaca oleh Prof. Nilakantisari seorang Guru Besar ahli Kepurbakalaan yang berasal dari Madras, India menjelaskan bahwa pada tahun 1024 kerajaan Cola dari India menyerang Sriwijaya dan menguasai daerah Barus. 

Pasukan dari kerajaan Cola kemungkinan adalah orang-orang Tamil karena ditemukan sekitar 1500 orang Tamil yang bermukim di Barus pada masa itu. Tamil adalah nama salah satu suku yang terdapat di India.
siRaja Batak diperkirakan hidup pada tahun 1200 (awal abad ke13)
Raja Sisingamangaraja ke-XII diperkirakan keturunan siRaja Batak generasi ke19 yang wafat pada tahun 1907 dan anaknya si Raja Buntal adalah generasi ke 20.

Dari temuan diatas bisa diambil kesimpulan bahwa kemungkinan besar leluhur dari siRaja batak adalah seorang pejabat atau pejuang kerajaan Sriwijaya yang berkedudukan di Barus karena pada abad ke-12 yang menguasai seluruh nusantara adalah kerajaan Sriwijaya di Palembang.

Akibat dari penyerangan kerajaan Cole ini maka diperkirakan leluhur siRaja Batak dan rombongannya terdesak hingga ke daerah Portibi sebelah selatan Danau Toba dan dari sinilah kemungkinan yang dinamakan siRaja Batak mulai memegang tampuk pemimpin perang, atau boleh jadi siRaja Batak memperluas daerah kekuasaan perangnya sampai mancakup daerah sekitar Danau Toba, Simalungun, Tanah Karo, Dairi sampai sebahagian Aceh dan memindahkan pusat kekuasaanya di daerah Portibi di sebelah selatan Danau Toba.

Pada akhir abad ke-12 sekitar tahun 1275 kerajaan Majapahit menyerang kerajaan Sriwijaya sampai ke daerah Pane, Haru, Padang Lawas dan sekitarnya yang diperkirakan termasuk daerah kekuasaan siRaja Batak.
Serangan dari kerajaan Majapahit inilah diperkirakan yang mengakibatkan siRaja Batak dan rombonganya terdesak hingga masuk ke pedalaman di sebelah barat Pangururan di tepian Danau Toba, daerah tersebut bernama Sianjur Mula Mula di kaki bukit yang bernama Pusuk Buhit, kemudian menghuni daerah tersebut bersama rombongannya.

Terdesaknya siRaja Batak oleh pasukan dari kerajaan Majapahit kemungkinan erat hubungannya dengan runtuhnya kerajaan Sriwijaya di Palembang karena seperti pada perkiraan di atas siRaja Batak adalah kemungkinan seorang Penguasa perang di bawah kendali kerajaan Sriwijaya.

Sebutan Raja kepada siRaja Batak bukanlah karena beliau seorang Raja akan tetapi merupakan sebutan dari pengikutnya atau pun keturunannya sebagai penghormatan karena memang tidak ada ditemukan bukti-bukti yang menunjukkan adanya sebuah kerajaan yang dinamakan kerajaan Batak.

Suku Batak sangat menghormati leluhurnya sehingga hampir semua leluhur marga-marga batak diberi gelar Raja sebagai gelar penghormatan, juga makam-makam para leluhur orang Batak dibangun sedemikian rupa oleh keturunannya dan dibuatkan tugu yang bisa menghabiskan biaya milyaran rupiah. Tugu ini dimaksudkan selain penghormatan terhadap leluhur juga untuk mengingatkan generasi muda akan silsilah (Partuturan)mereka.

Di dalam sistim kemasyarakatan suku Batak terdapat apa yang disebut dengan Marga yang dipakai secara turun temurun dengan mengikuti garis keturunan laki-laki. Ada sekitar 227 nama Marga pada suku Batak.
Di dalam buku Tarombo Borbor Marsada dikatakan bahwa 
Daftar Isi :


SiRaja Batak memiliki 3 (tiga) orang anak yaitu:

GURU TATEA BULAN (siRaja Lontung) RAJA ISOMBAON (siRaja Sumba) TOGA LAUT. Ketiga anak siRaja Batak inilah yang diyakini meneruskan tampuk pimpinan siRaja Batak dan asal mula terbentuknya marga-marga pada suku Batak. Sub Suku Batak Ada beberapa sub suku dan ratusan marga yang terdapat pada suku Batak.

Suku batak sendiri memiliki sub suku antara lain: 1. Karo 2. Mandailing 3. Simalungun 4. Toba 5. Pakpak 6. Angkola dan 7. Batak Pesisir Walaupun masih menjadi kontroversi dari sebahagian orang dari suku-suku Sub Suku Batak diatas tidak mau disebut Suku Batak tapi sebahagian lagi dari Sub Suku itu ada yang setuju disebut suku Batak dan juga pemerintah pada sensus penduduk tahun 2000 mengklasifikasikan sub suku diatas masuk dalan satu suku yaitu suku Batak.

Lebih lanjut mengenai Sub Suku Batak di atas, nanti akan kita bahas. Suku bangsa yang dikategorikan sebagai Batak adalah Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola dan Batak Mandailing. Mayoritas orang batak menganut agama Kristen dan sisanya beragama Islam.

 Tetapi ada juga yang menganut agama Malim dan juga menganut kepercayaan Animisme (disebut juga sipelebegu atau parbegu), penganut kedua kepercayaan ini saat ini sudah semakin berkurang. Berikut ini mari kita simak Lebih lengkap Sejarah Asal Usul Suku Batak Orang Batak adalah penutur bahasa Austronesia namun tidak diketahui kapan nenek moyang orang Batak pertama kali bermukim di Tapanuli dan Sumatera Timur.

Bahasa dan bukti-bukti arkeologi menunjukkan bahwa orang yang berbahasa Austronesia dari Taiwan telah berpindah ke wilayah Filipina dan Indonesia sekitar 2.500 tahun lalu, yaitu di zaman batu muda (Neolitikum). Karena hingga sekarang belum ada artefak Neolitikum (Zaman Batu Muda) yang ditemukan di wilayah Batak maka dapat diduga bahwa nenek moyang Batak baru bermigrasi ke Sumatera Utara di zaman logam. Pada abad ke-6, pedagang-pedagang Tamil asal India mendirikan kota dagang Barus, di pesisir barat Sumatera Utara. Mereka berdagang kapur Barus yang diusahakan oleh petani-petani di pedalaman.

Kapur Barus dari tanah Batak bermutu tinggi sehingga menjadi salah satu komoditas ekspor di samping kemenyan. Pada abad ke-10, Barus diserang oleh Sriwijaya. Hal ini menyebabkan terusirnya pedagang-pedagang Tamil dari pesisir Sumatera. Pada masa-masa berikutnya, perdagangan kapur Barus mulai banyak dikuasai oleh pedagang Minangkabau yang mendirikan koloni di pesisir barat dan timur Sumatera Utara. Koloni-koloni mereka terbentang dari Barus, Sorkam, hingga Natal.

Identitas Batak

R.W Liddle mengatakan, bahwa sebelum abad ke-20 di Sumatera bagian utara tidak terdapat kelompok etnis sebagai satuan sosial yang koheren. Menurutnya sampai abad ke-19, interaksi sosial di daerah itu hanya terbatas pada hubungan antar individu, antar kelompok kekerabatan, atau antar kampung. Dan hampir tidak ada kesadaran untuk menjadi bagian dari satuan-satuan sosial dan politik yang lebih besar. Pendapat lain mengemukakan, bahwa munculnya kesadaran mengenai sebuah keluarga besar Batak baru terjadi pada zaman kolonial.

 Dalam disertasinya J. Pardede mengemukakan bahwa istilah "Tanah Batak" dan "rakyat Batak" diciptakan oleh pihak asing. Sebaliknya, Siti Omas Manurung, seorang istri dari putra pendeta Batak Toba menyatakan, bahwa sebelum kedatangan Belanda, semua orang baik karo maupun Simalungun mengakui dirinya sebagai Batak, dan Belandalah yang telah membuat terpisahnya kelompok-kelompok tersebut. Sebuah mitos yang memiliki berbagai macam versi menyatakan, bahwa Pusuk Buhit, salah satu puncak di barat Danau Toba, adalah tempat "kelahiran" bangsa Batak. Selain itu mitos-mitos tersebut juga menyatakan bahwa nenek moyang orang Batak berasal dari Samosir.

 Terbentuknya masyarakat Batak yang tersusun dari berbagai macam marga, sebagian disebabkan karena adanya migrasi keluarga-keluarga dari wilayah lain di Sumatra. Penelitian penting tentang tradisi Karo dilakukan oleh J.H Neumann, berdasarkan sastra lisan dan transkripsi dua naskah setempat, yaitu Pustaka Kembaren dan Pustaka Ginting. Menurut Pustaka Kembaren, daerah asal marga Kembaren dari Pagaruyung di Minangkabau.

 Orang Tamil diperkirakan juga menjadi unsur pembentuk masyarakat Karo. Hal ini terlihat dari banyaknya nama marga Karo yang diturunkan dari Bahasa Tamil. Orang-orang Tamil yang menjadi pedagang di pantai barat, lari ke pedalaman Sumatera akibat serangan pasukan Minangkabau yang datang pada abad ke-14 untuk menguasai Barus.

Misionaris Kristen

Pada tahun 1824, dua misionaris Baptist asal Inggris, Richard Burton dan Nathaniel Ward berjalan kaki dari Sibolga menuju pedalaman Batak. Setelah tiga hari berjalan, mereka sampai di dataran tinggi Silindung dan menetap selama dua minggu di pedalaman. Dari penjelajahan ini, mereka melakukan observasi dan pengamatan langsung atas kehidupan masyarakat Batak. Pada tahun 1834, kegiatan ini diikuti oleh Henry Lyman dan Samuel Munson dari Dewan Komisaris Amerika untuk Misi Luar Negeri. Pada tahun 1850, Dewan Injil Belanda menugaskan Herman Neubronner Van der Tuuk untuk menerbitkan buku tata bahasa dan kamus bahasa Batak - Belanda. Hal ini bertujuan untuk memudahkan misi-misi kelompok Kristen - Belanda dan Jerman berbicara dengan masyarakat Toba dan Simalungun yang menjadi sasaran pengkristenan mereka.

 Misionaris pertama asal Jerman tiba di lembah sekitar Danau Toba pada tahun 1861, dan sebuah misi pengkristenan dijalankan pada tahun 1881 oleh Dr. Ludwig Ingwer Nommensen. Kitab Perjanjian Baru untuk pertama kalinya diterjemahkan ke bahasa Batak Toba oleh Nommensen pada tahun 1869 dan penerjemahan Kitab Perjanjian Lama diselesaikan oleh P. H. Johannsen pada tahun 1891. Teks terjemahan tersebut dicetak dalam huruf latin di Medan pada tahun 1893. Menurut H. O. Voorma, terjemahan ini tidak mudah dibaca, agak kaku, dan terdengar aneh dalam bahasa Batak.

 Masyarakat Toba dan Karo menyerap agama Kristen dengan cepat, dan pada awal abad ke-20 telah menjadikan Kristen sebagai identitas budaya. Pada masa ini merupakan periode kebangkitan kolonialisme Hindia Belanda, dimana banyak orang Batak sudah tidak melakukan perlawanan lagi dengan pemerintahan kolonial. Perlawanan secara gerilya yang dilakukan oleh orang-orang Batak Toba berakhir pada tahun 1907, setelah pemimpin kharismatik mereka, Sisingamangaraja XII wafat.

 Gereja HKBP Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) telah berdiri di Balige pada bulan September 1917. Pada akhir tahun 1920-an, sebuah sekolah perawat memberikan pelatihan perawatan kepada bidan-bidan disana. Kemudian pada tahun 1941, Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) didirikan.

Salam Khas Batak

Tiap puak Batak memiliki salam khasnya masing masing. Meskipun suku Batak terkenal dengan salam Horasnya, namun masih ada dua salam lagi yang kurang populer di masyarakat yakni Mejuah juah dan Njuah juah. Horas sendiri masih memiliki penyebutan masing masing berdasarkan puak yang menggunakannya 1. Pakpak “Njuah-juah Mo Banta Karina!” 2. Karo “Mejuah-juah Kita Krina!” 3. Toba “Horas Jala Gabe Ma Di Hita Saluhutna!” 4. Simalungun “Horas banta Haganupan, Salam Habonaran Do Bona!” 5. Mandailing dan Angkola “Horas Tondi Madingin Pir Ma Tondi Matogu, Sayur Matua Bulung!”

Kekerabatan

Kekerabatan adalah menyangkut hubungan hukum antar orang dalam pergaulan hidup. Ada dua bentuk kekerabatan bagi suku Batak, yakni berdasarkan garis keturunan (genealogi) dan berdasarkan sosiologis, sementara kekerabatan teritorial tidak ada. Bentuk kekerabatan berdasarkan garis keturunan (genealogi) terlihat dari silsilah marga mulai dari Si Raja Batak, dimana semua suku bangsa Batak memiliki marga. Sedangkan kekerabatan berdasarkan sosiologis terjadi melalui perjanjian (padan antar marga tertentu) maupun karena perkawinan. Dalam tradisi Batak, yang menjadi kesatuan Adat adalah ikatan sedarah dalam marga, kemudian Marga. Artinya misalnya Harahap, kesatuan adatnya adalah Marga Harahap vs Marga lainnya. Berhubung bahwa Adat Batak/Tradisi Batak sifatnya dinamis yang seringkali disesuaikan dengan waktu dan tempat berpengaruh terhadap perbedaan corak tradisi antar daerah.

Kontroversi

Sebagian orang Karo, Angkola, dan Mandailing tidak menyebut dirinya sebagai bagian dari suku Batak. Wacana itu muncul disebabkan karena pada umumnya kategori "Batak" dipandang rendah oleh bangsa-bangsa lain. Selain itu, perbedaan agama juga menyebabkan sebagian orang Tapanuli tidak ingin disebut sebagai Batak. Di pesisir timur laut Sumatera, khususnya di Kota Medan, perpecahan ini sangat terasa. Terutama dalam hal pemilihan pemimpin politik dan perebutan sumber-sumber ekonomi. Sumber lainnya menyatakan kata Batak ini berasal dari rencana Gubernur Jenderal Raffles yang membuat etnik Kristen yang berada antara Kesultanan Aceh dan Kerajaan Islam Minangkabau, di wilayah Barus Pedalaman, yang dinamakan Batak. Generalisasi kata Batak terhadap etnik Mandailing (Angkola) dan Karo, umumnya tak dapat diterima oleh keturunan asli wilayah itu.

 Demikian juga di Angkola, yang terdapat banyak pengungsi muslim yang berasal dari wilayah sekitar Danau Toba dan Samosir, akibat pelaksanaan dari pembuatan afdeeling Bataklanden oleh pemerintah Hindia Belanda, yang melarang penduduk muslim bermukim di wilayah tersebut. Konflik terbesar adalah pertentangan antara masyarakat bagian utara Tapanuli dengan selatan Tapanuli, mengenai identitas Batak dan Mandailing.

 Bagian utara menuntut identitas Batak untuk sebagain besar penduduk Tapanuli, bahkan juga wilayah-wilayah di luarnya. Sedangkan bagian selatan menolak identitas Batak, dengan bertumpu pada unsur-unsur budaya dan sumber-sumber dari Barat. Penolakan masyarakat Mandailing yang tidak ingin disebut sebagai bagian dari etnis Batak, sempat mencuat ke permukaan dalam Kasus Syarikat Tapanuli (1919-1922), Kasus Pekuburan Sungai Mati (1922), dan Kasus Pembentukan Propinsi Tapanuli (2008-2009). Dalam sensus penduduk tahun 1930 dan 2000, pemerintah mengklasifikasikan Simalungun, Karo, Toba, Mandailing, Pakpak dan Angkola sebagai etnis Batak

Hagabeon

Hagabeon dalam Suku Batak bermakna harapan memiliki anak dan cucu yang baik-baik dan panjang umur. Dengan umur yang panjang diharapkan dapat menikahkan anak dan mendapatkan keturunan yang baik. Bagi suku ini anak merupakan simbol keberhasilan dalam pernikahan. Apalagi anak laki-laki, yang merupakan penerus marganya. Pada adat kuno aturan memiliki anak bagi orang batak yaitu sebanyak 33. Dimana laki-laki sebanyak 17 anak dan perempuan 16 anak. Namun seiring kemajuan jaman nilai adat tersebut mulai tergeser dan tergantikan dengan nilai baru. Saat ini prioritas memiliki anak bukan lagi terpaut pada kuantitas melainkan pada kualitas. Sehingga pendidikan dan keterampilan merupakan hal utama yang harus dimiliki seorang anak.

Hamoraon

Dalam adat Suku Batak nilai budaya hamoraon memiliki makna kehormatan. Aspek kehormatan yang dimaksud yaitu keseimbangan antara nilai materil dan spiritual. Seseorang dianggap terhormat apabila memiliki kekayaan, sikap baik hati antar sesama dan nilai spiritual yang tinggi. Meskipun seseorang memiliki kekayaan yang melimpah dan jabatan yang tinggi, tidak ada artinya jika tidak memiliki nilai spiritual. Inilah keseimbangan yang dimaksud. Bahwa proporsi antara nilai materil dan spiritual haruslah seimbang.

Uhum Dan Ugari

Nilai ini memiliki makna yang sama dengan hukum. Bagi orang Batak hukum atau uhum merupakan suatu hal yang mutlak ditegakkan. Implementasi nilai-nilai ini diwujudkan melalui sikap keadilan. Nilai keadilan itu sendiri diwujudkan dari komitmen melakukan kebiasaan (ugari) dan kesetiaan pada janji. Seorang Suku Batak apabila berkhianat pada suatu kesepakatan adat akan menerima sanksi adat dan dianggap sangat tercela. Oleh karenanya bagi mereka uhum dan ugari merupakan suatu hal yang amat dipatuhi. Dan orang Batak dianggap sempurna jika mampu menghormati uhum dan ugari serta dapat menepati janji.

Pengayoman

Nilai pengayoman dalam Suku Batak terbilang cukup unik. Mengapa? Karena dengan nilai ini mereka menjadi terbiasa hidup mandiri dan tidak mudah meminta belas kasihan orang lain. Sebab salah satu prinsip adat mereka yaitu semua orang merupakan pengayom dan akan saling mengayomi antar sesama. Prinsip tersebut berasal dari unsur yang dikenal dengan Dalihan Na Tolu. Unsur tersebut sejatinya merupakan unsur yang secara magis dipercaya saling melindungi. Hubungan tersebut layaknya jaring laba-laba yang saling berkaitan dengan nilai-nilai adat.

Sistem Sosial

Dalam sistem sosial selalu dibutuhkan nilai yang mengatur untuk menjaga keseimbangan hubungan antar manusia. Nilai ini memang sangat dibutuhkan. Sebab selalu ada perbedaan dalam sekelompok manusia. Sehingga nilai-nilai dan aturan ini yang menjadi acuan dalam keberlangsungan kehidupan manusia. Begitu pula dengan nilai marsisarian yang ada pada Suku Batak. Marsisarian memiliki makna saling menghargai, mengerti dan saling membantu. Dengan adanya nilai ini seseorang harus menghormati dan menghargai antar sesama. Lebih baiknya lagi nilai ini dapat mencegah konflik yang terjadi dalam masyarakat.

Dikutip dari Berbagai Sumber

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Warga Batak

Formulir Kontak